animasi bergerak gif
Gaara

Jumat, 04 April 2014

Kolom Dosen : Bagai Dua Sisi Mata Uang, Mahasiswa Dan Demokrasi

                Rabu, 9 April 2014 adalah saat yang ditunggu oleh sebagian rakyat Indonesia, tapi juga sebagai hari yang dianggap biasa saja oleh sebagian lain masyarakat Indonesia. Siapakah yang menunggu hari pencoblosan para wakil rakyat itu?? Dan siapa pula yang menganggap “cuek” hari pemilihan umum itu?? Pertanyaan yang saat ini jawabannya masih berupa asumsi dan perlu dibuktikan pada 9 April mendatang. Asumsi, bukan didasarkan ‘omong kosong’ dalam sebuah ‘pepesan kosong’ belaka. Menurut data dari Lingkaran Survei Indonesia, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%, namun prediksi optimis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Prediksi ini tidak hanya didasarkan pada pileg saja, namun juga didasarkan pada data-data yang diperoleh dari pemilukada di berbagai daerah di Indonesia.
Bila ditilik ke belakang, sungguh ironis sekali, dimana pada tahun 1999, gelegar pemilu sangat terasa sejak tergulingnya rezim orde baru dan reformasi Indonesia. Munculnya partai-partai baru dan tokoh-tokoh politik baru yang mengklaim dirinya ‘reformis’ mendapatkan kepercayaan tersendiri dalam masyarakat. Mereka berbondong-bondong meninggalkan aktivitas dan pekerjaannya untuk berpanas-panasan menggelar konvoi kampanye, seolah sebuah kebanggaan dapat mengusung bendera dan lambang partai yang mereka pilih. Seluruh TPS penuh sampai dengan penghitungan suara yang riuh dengan tepukan tangan para pemilih yang menjagokan masing-masing partainya. Sebuah kebanggaan menjadi KPPS dan panitia pemilihan di TPS, seluruh RT, RW, dusun dan dukuh di desa-desa marak dengan aktivitas pencoblosan. Namun apa yang terjadi pada pemilu-pemilu berikutnya, meningkatnya angka golput menjadi salah satu alasan TPS sepi dan partisipasi pemilih menurun.
Di Yogyakarta, puluhan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak pemilu 2014 di pertigaan kampus UIN Sunan Kalijaga. Mereka mencorat-coret jalan dan pagar kampus dengan tulisan 'Tolak Pemilu 2014', serta membakar kaos warna putih bertuliskan 'Tolak Pemilu 2014' yang bergambar kotak suara. Sedangkan di Kota Semarang, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) berunjuk rasa menolak pelaksanaan pemilu borjuasi 2014 karena dinilai hanya merupakan pesta untuk kaum elite dan semakin menyengsarakan rakyat. Belasan mahasiwa yang berunjuk rasa terlihat membawa spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan "Tolak Pemilu Borjuasi 2014", "Bangun Alat Politik Kerakyatan, Tinggalkan Partai-Partai Elit", "Pemilu 2014 Pestanya Kaum Modal", dan "Pemilu Elit 2014=Bencana Nasional". Menurut mereka, alasan para mahasiswa menolak pemilu borjuasi 2014 karena agenda tersebut hanya dimanfaatkan kapitalis untuk mengintervensi dengan memasukkan kepentingan yang lebih berpihak pada kaum modal.
Realitas yang sangat disayangkan, ketika mahasiswa yang dianggap sebagai generasi penerus bangsa yang masih memiliki idealisme berpolitik, independent dan memiliki kemungkinan kontribusi yang sangat luas atas pesta demokrasi tersebut, justru memberikan sikap provokasi politik yang dapat membawa pengaruh tidak baik bagi generasinya yang akan membawa efek domino bagib perkembangan demokrasi di Indonesia. Golput adalah permasalahan besar bangsa ini dalam tahun politik seperti ini dan menjadi tugas seluruh masyarakat untuk mengembalikan eksistensi demokrasi pada kedaulatan suara rakyat. Permasalahan golput bukan hanya sampai tidak tercoblosnya surat suara oleh pemilih, namun lebih kepada penyebab masyarakat memberikan pilihan politik menjadi ‘golongan putih’. Bisa jadi, golput yang akan memenangkan pemilu 2014 dan akan sangat terlambat bila sosialisasi ‘say no to golput’ baru didengung-dengungkan sekarang. Sejak wara wirinya para legislatif di ranah hukum karena menjadi tersangka, bahkan terpidana berbagai kasus suap dan korupsi, tingginya biaya berpolitik di Indonesia, budaya nepotisme, budaya money politics, pemilihan langsung dan sistem pemilihan umum yang inkonsistensi seolah tak punya jati diri, menjadi ‘lingkaran setan’ yang tidak mudah diurai dan dicari dimana awal dan akhirnya.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih yang terdaftar untuk pemilu tahun 2014 adalah sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 20-30%nya adalah Pemilih Pemula. Pemilih Pemula ini terdiri dari mahasiswa dan siswa SMA yang akan menggunakan hak pilihnya pertama kali di tahun 2014 nanti. Pemilih Pemula dianggap memiliki karakteristik yang berbeda karena cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Pemilihan umum masih dianggap sebagai pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan “Rock the Vote Indonesia” yang menggelar kegiatan sosialisasi pemilihan umum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan penyatuan komitmen menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Antusiasme tersebut tampak di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah yang telah diselenggarakan di IAIN Walisongo Semarang. Seluruh civitas akademika mendukung kegiatan yang diselenggarakan oleh Center for Election and Political Party (CEPP IAIN Walisongo). Kegiatan tersebut adalah bentuk kontribusi nyata dukungan dunia kampus dan seluruh civitas akademika untuk menyukseskan pemilu 9 April 2014 mendatang, dengan mengusung pemilih-pemilih pemula yang cerdas dan kritis, anti golput dan siap menjadi agent of vote Indonesia
Peranan Mahasiswa dalam mendorong transparansi penyelenggaraan Pemilu diperlukan sebagai bagian dari komponen masyarakat yang berkepentingan langsung dengan  proses dan hasil pemilu yang kredibel. Sebab mahasiswa selalu diposisikan sebagai  kelompok penting dalam masyarakat yang dicirikan dengan  sikap kritis dan independen  dan dalam konteks Pemilu peranan itu dapat diaplikasikan antara lain melakukan kerja-kerja pengawasan setiap tahapan Pemilu pada semua tingkatan penyelenggaraan Pemilu baik nasional maupun daerah. Pengawasan ini menjadi andil penting karena pengawasan formil oleh lembaga pengawas Pemilu sering terbatas area dan cakupannya. Selain itu dengan melakukan pendidikan dan penyadaran pemilih untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan mengadakan advokasi terhadap kasus-kasus kecurangan Pemilu melalui saluran kelembagaan yang ada.


(Novita Dewi Masyithoh, S.H., M.H. adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo dan Pengurus Centre for Election and Political Party IAIN Walisongo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar