animasi bergerak gif
Gaara

Jumat, 04 Oktober 2013

(tugas 2) Dasar Hukum Menghadap Kiblat

A.           Pengertian kiblat
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab القبلة asal katanya ialah مقبلة sinonimnya adalah وجهة yang berasal dari kata مواجهة artinya adalah keadaan arah yang dihadapi. Kemudian pengertiannya dikhususkan pada suatu arah, dimana semua orang yang akan mendirikan shalat menghadap kepadanya.[1]
Dalam buku Ilmu Falak (cet.I, Yogyakarta : Lukita, 2012) karya Zainul Arifin, hlm. 16, kiblat berarti:
1.             Arah yang merujuk ke bangunan Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi
2.             Jarak yang terdekat dengan Ka’bah.

B.            Dasar hukum menghadap kiblat
1.             Dasar hukum dari al Quran
Firman Allah SWT dalam QS. al Baqarah [2] : 144

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”(al Baqarah [2] : 144)[2]
2.             Dasar hukum dari hadits
a.             Hadits riwayat Imam Bukhari (hadits no. 384 dalam Shahih Bukhari)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ } فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنْ النَّاسِ وَهُمْ الْيَهُودُ { مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka'bah. Maka Allah menurunkan ayat: ("Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit”) (QS. al Baqarah: 144). Maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghadap ke Ka'bah. Lalu berkatalah orang-orang yang kurang akal, yaitu orang-orang Yahudi: '(Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah: ("Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”) (QS. al Baqarah: 142). Kemudian ada seseorang yang ikut shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang itu kemudian keluar setelah menyelesaikan shalatnya. Kemudian orang itu melewati Kaum Anshar yang sedang melaksanakan shalat 'Ashar dengan menghadap Baitul Maqdis. Lalu orang itu bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan menghadap Ka'bah. Maka orang-orang itu pun berputar dan menghadap Ka'bah.”(HR. Bukhari)

b.             Hadits riwayat Imam Bukhari (hadits no. 385 dalam Shahih Bukhari)

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Abu 'abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Katsir dari Muhammad bin 'Abdurrahman dari Jabir bin 'Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardlu, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat."(HR. Bukhari)

C.           Penentuan arah kiblat
Penentuan arah kiblat merupakan salah satu kisaran pokok bahasan dalam ilmu falak. Masalah kiblat tidak lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Makkah. Arah kiblat ini dapat ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan bumi dengan melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana Ka’bah di Makkah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan bumi ini, sehingga semua gerakan orang yang sedang melaksanakan shalat, baik berdiri, ruku’ maupun sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.
Umat Islam telah bersepakat bahwa menghadap kiblat dalam shalat merupakan syarat sahnya shalat, sebagaimana dalil-dalil syar’I yang ada. Bagi orang-orang di kota Makkah dan sekitarnya suruhan untuk menghadap ke Ka’bah tidak begitu sulit jika dibandingkan orang-orang yang jaraknya jauh dari Makkah. Yang menjadi persoalan adalah orang-orang yang jaraknya jauh dari Makkah, terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang cukup menghadap ke arahnya saja sekalipun kenyataannya salah, ataukah harus menghadap kea rah sedekat mungkin dengan posisi Ka’bah yang sebenarnya.
Maka dari itu dengan ilmu falak, setiap muslim dapat mengetahui secara akurat kemana arah kiblat bagi suatu tempat di permukaan bumi yang jauh dari Makkah.[3]



[1] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, cet. II, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 18.
[2] Tafsirul ahkam : قد+مضارع bermakna litahqiq, sesuatu yang dilakukan dengan sering. تقلب berarti “berbolak-balik menghadap”, bermakna Rasulullah saw menunggu atau berharap turunnya wahyu berpindah kiblat sejak dikatakan oleh orang Yahudi, mengapa Islam menghadap ke arah yang sama dengan mereka. فلنولينك mengandung dua adat taukid yang bermakna “benar-benar disuruh berpindah kiblat”. Selain karena ingin berbeda dengan orang Yahudi, dalam perpindahan kiblat ke Ka’bah, Rasulullah saw memiliki beberapa alasan, diantaranya, pertama, Ka’bah merupakan kiblat Nabi Ibrahim as. Kedua, Rasulullah saw berkeinginan orang kafir Makkah masuk Islam. Ketiga, Makkah yang merupakan tempat Ka’bah berada merupakan tempat kelahiran Rasulullah saw. شطر (arah yang tepat) المسجد الحرام bermakna : pertama, masjid secara keseluruhan. Kedua, Makkah (QS. al Isra’ : 1). Ketiga, Ka’bah (dalam ayat ini).
[3] Zainul Arifin, Ilmu Falak, cet. I, (Yogyakarta : Lukita, 2012), hlm. 6-7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar