Apa kabar langit?
Kau tau sekarang bulan sudah
berganti. Oktober sudah meninggalkanku dan kini November datang menyapaku.
Tentu dengan tawaran kenampakan yang berbeda di langitmu. Sang pemburu bersabuk
deretan tiga bintang pun muncul menggantikan posisi musuh besar yang
mengejarnya, sang kalajengking berjantung Antares. Pun dengan tawaran kisah
yang berbeda yang terjadi di bawah naunganmu.
It was dawn at that
time.
Aku mengamati langit di atap rumah seperti biasa, ditemani beberapa potong
roti. Sirius yang tertangkap indra penglihatku tepat di zenith, rupanya
malu-malu untuk kutatap lebih lama lagi, karena saat itu juga handphoneku
tiba-tiba berdering.
Tidak biasanya,
batinku.
Pikir saja siapa yang meneleponku dini
hari begini kalau bukan karena dia mengigau. Mau tak mau aku membuka handphone.
Layarnya berkedip, menampilkan sederet nomer sang penelepon. Ku beranikan diri
mengangkat, meskipun agak sedikit takut.
“Halo?”
“Ini Kisya?”
Deg,
aku terkejut. Kenapa dia bisa tau namaku, batinku.
“Si, siapa ini?” aku agak
terbata-bata.
“Ini bener Kisya, kan? Aku Faris. Do
you still remember me?”
Tepat setelah kalimat pertanyaannya
selesai sempurna tertangkap oleh indra pendengarku, memoriku sekejap memburat.
Seakan berputar-putar di sebuah lorong waktu dan akhirnya terlempar ke waktu 9
tahun yang lalu. Masa SMP.
“Halo? Kisya? Masih disitu, kan?”
“Eh... I, iya...” aku
gelagapan,”Faris? Iya, aku ingat…”
“Syukurlah...” terdengar ia seperti
menghela nafas lega, sedang aku masih terdiam, bingung.
“Apa kabar, Kisya?” pertanyaannya
memecah keheningan. Lebih tepatnya memecah lamunanku.
“Eh, baik,” spontan saja kemudian
beberapa pertanyaan meluncur
deras dari lisanku,”Faris, ada apa, ya? Kenapa menelepon
dini hari begini? Bagaimana kamu bisa tau kalau aku pasti akan mengangkat
teleponmu?”
Hening sejenak.
“Aduh, Kisya... Satu-satu dong
tanyanya.”
Aku nyengir.
“Well, Kisya, semua
pertanyaanmu jawabannya hanya satu.”
Aku mengernyitkan dahi, heran,
“Apa?”
“Facebook,” ucapnya singkat,
kemudian terdengar seperti suara terkekeh.
“Selama 2 bulan terakhir ini aku
mengikutimu di facebook,” lanjutnya cepat, seakan tidak mau membuatku
lama-lama dirundung keheranan, “Dan aku dapat nomermu dari sahabatmu, Siera.”
“Whaat?” aku terkejut,”Are
you kidding me? Faris, kamu
gak ada habisnya buat aku terkejut-kejut dan jadi keheranan. God, mimpi
apa aku semalem.” Tanpa sadar aku menepuk jidat.
Lagi-lagi terdengar suara terkekeh
dari seberang telepon.
“Status-statusmu, Kisya. Aku tau
kamu suka mengamati langit malam...”
*
Seminggu berselang sejak Faris
meneleponku untuk yang pertama kali dan sudah seminggu itu pula malam-malam
pengamatanku menjadi lebih ramai. Bukan hanya oleh “celotehan” bintang-bintang
seperti biasanya, tetapi juga oleh celotehan dua anak manusia yang dipertemukan
oleh sebuah alat komunikasi bernama handphone.
Banyak cerita yang bergulir selama
seminggu ini. Saling bertukar pengalaman, bercerita tentang perjalanan hidup
dan apapun, basa-basi, mungkin. Hingga bercerita tentang bintang-bintang.
Menerjemahkan apa yang menjadi “celotehan” mereka ke dalam bahasa manusia.
Suatu saat aku pernah bercerita tentang bagaimana sang pemburu bangsa Boetia
yang tampan dan perkasa, Orion, dengan angkuhnya mengatakan akan memusnahkan
semua hewan buas di Bumi dan mempersembahkannya kepada Aurora, kekasihnya.
Namun pada akhirnya Orion justru tewas akibat lesatan anak panah Diana yang
dikaburkan pandangannya oleh Apollo saat akan menolong Orion dari kejaran
seekor kalajengking raksasa, Scorpio. Tragis. Sebuah cerita kolosal khas
mitologi Yunani yang bertahan sampai sekarang.
“Kalau aku jadi Orion, aku tidak
akan melakukan hal yang seperti itu...”
Suara dari seberang telepon itu
membuatku terhenyak.
“Lantas?” aku bertanya usil.
“Daripada harus mengumbar perkataan
akan memusnahkan semua hewan buas di Bumi, lebih baik aku katakan akan
mempersembahkan semua bintang di langit kepada kekasihku,” Faris terdengar
berapi-api.
“Kamu punya kekasih?” tanyaku
spontan. Hampir tak sadar aku melontarkan pertanyaan itu.
“Eh?”
*
12 November 2013. Tepat pukul 1:30
dini hari. Aku terbangun. Seperti hari-hari sebelumnya. Yang berbeda mungkin
satu hal. Handphoneku akan berdering beberapa menit setelah ini. Faris akan
meneleponku. Dan seperti biasa, sembari menunggu, aku mengambil air wudlu dan
melaksanakan qiyamul lail terlebih dulu.
Pukul 1:45 dini hari.
Aku telah selesai melaksanakan
ritualku. Tapi handphoneku tak kunjung berdering. Aku memasak air untuk membuat
segelas teh sekedar menemani pengamatanku hari ini, sembari sesekali melihat
layar handphoneku—berharap Faris segera meneleponku.
Segelas teh hangat kini sudah
menemaniku duduk di pelataran atap rumah, bersebalahan dengan handphoneku yang
kubiarkan tegeletak begitu saja. Sesekali kutatap langit, kemudian mencuri-curi
pandang ke arah handphoneku. Planisfer masih saja kugenggam, bersanding dengan
gadget layar lebar yang tengah menampilkan peta langit digital. Perasaan
gelisah mulai menjalari hati yang sudah lebih dulu dipenuhi tanda tanya.
Akhirnya aku tidak bisa menahan
kegelisahanku. Kuketik sebaris kalimat pesan singkat untuk Faris.
Kemana? Belum bangun
kah?|
Agak canggung memang. Karena aku
sendiri tidak terbiasa berkirim pesan singkat dengan Faris. Lama kutunggu tak
kunjung ada balasan. Hingga akhirnya aku cukupkan pengamatanku hari ini.
Kuputuskan tidak aku lanjutkan hingga adzan Shubuh menjelang seperti biasanya.
Lelah.
*
Adzan Shubuh membangunkanku. Masih
mengerjap-ngerjap aku berusaha bangun dan agak menyeret langkah mengambil
wudlu. Seusai shalat Shubuh, sengaja aku naik ke atap rumah. Menatap langit
fajar tanggal 12 November. Menunggu hingga menyembulnya matahari dari ufuk
timur. Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada diriku. Sejak dini hari
ini, sejak Faris tidak menelepon dan membalas pesan singkatku, aku merasa ada
sesuatu yang kurang. Ada yang hilang. Aku merasa kehilangan. Dan seketika itu
juga alur waktuku mendadak menjadi berjalan sedikit mellow. Suasana yang
tidak biasa.
Huff...
aku menghela nafas, membaringkan tubuh di pelataran atap rumah.
“Kisya..!”
Terkejut, aku terbangun. Suara ibuku
terdengar memanggilku.
“Iya, bu...” aku segera beranjak
turun ke dalam rumah. Mendatangi ibuku yang tengah berdiri menungguku. Sudut
mataku menangkap sesuatu yang ibu bawa. Sebuah amplop coklat besar. Seakan bisa
membaca pikiranku, ibu langsung menyodorkannya padaku.
“Ini ada surat. Diantar tukang pos
tadi,” ibu menjawab tanpa sempat aku mengeluarkan sebuah pertanyaan.
Aku hanya mengangguk.
Segera setelah pamit ke dalam kamar,
amplop coklat kubuka. Benar. Secarik kertas. Sebuah surat.
Dear, Kisya.
Maaf mungkin ini akan
membuatmu sedikit terkejut. Dari tempatku disini, di kota batik akan
kusampaikan sesuatu hal menuju tempatmu disana, di kota kembang. Sengaja aku
menulis surat, dengan tega tanpa mempedulikan arus kecanggihan teknologi yang
deras demi niatku ini.
Kisya... Maaf sekali
lagi kalau mungkin aku sudah bersikap lancang dan membuatmu jadi merasa tidak
nyaman. Sejak aku mengenalmu dan pada akhirnya selama seminggu kemarin kita
bisa berkomunikasi kembali, aku merasakan hal yang berbeda. Ada sesuatu yang
menelisik dan menggelitik perasaanku. Aku mencoba mencari-cari apa itu dan setelah
sekian lama aku memikirkannya, aku merasa semakin yakin. Bahwa sebenarnya apa
yang kucari itu sesuatu yang mungkin kita sebut ‘cinta’.
Kita sama-sama tau,
baru seminggu kemarin kita berkomunikasi kembali setelah 9 tahun kita terpisah.
Dan sangat tidak logis kalau waktu yang singkat itu bisa menumbuhkan perasaan
cinta. Tapi sayangnya, cinta memang tidak mengenal kata ‘logis’. Cinta bisa
tumbuh dimana saja
dan kapan saja. Bahkan di atas tanah yang tandus ketika kemarau sekalipun.
Aku tidak berharap
banyak. Karena aku sadar betul siapa aku, dan siapa kamu. Aku tidak memaksamu
untuk bisa menerima keberadaanku. Hanya kalau kamu mau menerimaku, balaslah
surat ini.
Segera setelah surat
balasanmu sampai padaku, aku akan pergi kesana, menuju kotamu. Menuju rumahmu.
Kuajak kedua orangtuaku untuk menemuimu. Akan aku perkenalkan seorang dewi yang
kecantikannya melebihi Aurora kepada mereka, yang kepadanya akan aku
persembahkan semua bintang di langit.
Salam, Faris.
Tanpa sadar air mataku sudah
mengucur membasahi sebagian badan
surat.
Terharu. Bahagia. Sebentar saja akan aku ceritakan isi surat ini kepada ibuku
dan aku akan menyiapkan
selembar kertas dengan tintanya.
*
Karena kita menatap langit yang
sama. Langit bulan November.
Annake
Harijadi Noor. 3 11 14.
Di
bawah naungan langit dini hari bulan November.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar