A.
Pengertian kiblat
Kata
kiblat berasal dari bahasa Arab القبلة asal katanya ialah مقبلة sinonimnya adalah وجهة yang berasal dari kata مواجهة artinya adalah keadaan arah yang
dihadapi. Kemudian pengertiannya dikhususkan pada suatu arah, dimana semua
orang yang akan mendirikan shalat menghadap kepadanya.[1]
Dalam
buku Ilmu Falak (cet.I, Yogyakarta : Lukita, 2012) karya Zainul Arifin,
hlm. 16, kiblat berarti:
1.
Arah yang merujuk ke bangunan Ka’bah di Masjidil
Haram, Makkah, Arab Saudi
2.
Jarak yang terdekat dengan Ka’bah.
B.
Dasar hukum menghadap kiblat
1.
Dasar hukum dari al Quran
Firman Allah SWT
dalam QS. al Baqarah [2] : 144
قَدْ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.”(al
Baqarah [2] : 144)[2]
2.
Dasar hukum dari hadits
a.
Hadits riwayat Imam Bukhari (hadits no. 384 dalam Shahih
Bukhari)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ
عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ
إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
} فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنْ النَّاسِ وَهُمْ الْيَهُودُ
{ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ
عَلَى قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ
هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا
نَحْوَ الْكَعْبَةِ
Telah menceritakan kepada
kami 'Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami Israil dari
Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas
atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka'bah. Maka Allah menurunkan
ayat: ("Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit”) (QS. al
Baqarah: 144). Maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghadap ke
Ka'bah. Lalu berkatalah orang-orang yang kurang akal, yaitu orang-orang Yahudi:
'(Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis)
yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah: ("Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”) (QS. al Baqarah: 142). Kemudian ada
seseorang yang ikut shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang itu
kemudian keluar setelah menyelesaikan shalatnya. Kemudian orang itu melewati
Kaum Anshar yang sedang melaksanakan shalat 'Ashar dengan menghadap Baitul
Maqdis. Lalu orang itu bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dengan menghadap Ka'bah. Maka orang-orang itu pun
berputar dan menghadap Ka'bah.”(HR. Bukhari)
b.
Hadits riwayat Imam Bukhari (hadits no. 385 dalam Shahih
Bukhari)
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ
فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim
berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Abu 'abdullah berkata, telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Katsir dari Muhammad bin 'Abdurrahman
dari Jabir bin 'Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah tunggangannya menghadap. Jika
Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardlu, maka beliau turun lalu shalat
menghadap kiblat."(HR.
Bukhari)
C.
Penentuan arah kiblat
Penentuan
arah kiblat merupakan salah satu kisaran pokok bahasan dalam ilmu falak. Masalah
kiblat tidak lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Makkah. Arah kiblat
ini dapat ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan bumi dengan
melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat
pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana
Ka’bah di Makkah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan bumi ini, sehingga
semua gerakan orang yang sedang melaksanakan shalat, baik berdiri, ruku’ maupun
sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.
Umat
Islam telah bersepakat bahwa menghadap kiblat dalam shalat merupakan syarat
sahnya shalat, sebagaimana dalil-dalil syar’I yang ada. Bagi orang-orang di
kota Makkah dan sekitarnya suruhan untuk menghadap ke Ka’bah tidak begitu sulit
jika dibandingkan orang-orang yang jaraknya jauh dari Makkah. Yang menjadi
persoalan adalah orang-orang yang jaraknya jauh dari Makkah, terlepas dari
perbedaan pendapat para ulama tentang cukup menghadap ke arahnya saja sekalipun
kenyataannya salah, ataukah harus menghadap kea rah sedekat mungkin dengan
posisi Ka’bah yang sebenarnya.
Maka
dari itu dengan ilmu falak, setiap muslim dapat mengetahui secara akurat kemana
arah kiblat bagi suatu tempat di permukaan bumi yang jauh dari Makkah.[3]
[2]
Tafsirul ahkam : قد+مضارع
bermakna litahqiq, sesuatu yang dilakukan dengan sering. تقلب berarti “berbolak-balik
menghadap”, bermakna Rasulullah saw menunggu atau berharap turunnya wahyu
berpindah kiblat sejak dikatakan oleh orang Yahudi, mengapa Islam menghadap ke
arah yang sama dengan mereka. فلنولينك mengandung dua adat taukid yang
bermakna “benar-benar disuruh berpindah kiblat”. Selain karena ingin berbeda
dengan orang Yahudi, dalam perpindahan kiblat ke Ka’bah, Rasulullah saw
memiliki beberapa alasan, diantaranya, pertama, Ka’bah merupakan kiblat
Nabi Ibrahim as. Kedua, Rasulullah saw berkeinginan orang kafir Makkah
masuk Islam. Ketiga, Makkah yang merupakan tempat Ka’bah berada
merupakan tempat kelahiran Rasulullah saw. شطر (arah yang tepat) المسجد الحرام bermakna : pertama,
masjid secara keseluruhan. Kedua, Makkah (QS. al Isra’ : 1). Ketiga,
Ka’bah (dalam ayat ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar