Andai Hilal Bisa Bicara
H Ahmad Izzuddin
(Anggota Badan Hisab Rukyat Pusat)
Hampir setiap menjelang akhir Ramadhan, masyarakat Muslim awam selalu mempertanyakan: kapan akhir Ramadhan yang berarti kapan hari rayanya? Pertanyaan wajar ini selalu muncul karena di Indonesia sering kali terjadi perbedaan pelaksanaan Hari Raya 1 Syawal (Idul Fitri) oleh umat Islam sendiri. Tidak seperti pelaksanaan hari raya agama lain, yaitu Natal, Waisak, Nyepi, dan sebagainya, yang tidak pernah terjadi perbedaan pelaksanaan hari rayanya. Menariknya, perbedaan pelaksanaan hari raya umat Islam sekarang ini tidak hanya berbeda pada satu hari, bahkan berhari-hari. Tanda-tanda perbedaan pelaksanaan hari raya sekarang ini (Idul Fitri 1430 H) tampak pada perbedaan awal puasa Ramadhan, kemarin. Sebagaimana pemberitaan media cetak dan elektronik, umat Islam ada yang mulai puasa Ramadhan 1430 H pada Kamis, 20 Agustus 2009. Bahkan, ada yang mulai pada Jumat, 21 Agustus atau yang mulai pada Ahad, 23 Agustus 2009. Namun, mayoritas umat Islam Indonesia (keputusan pemerintah sama dengan ketetapan Muhammadiyah dan Ikhbar Nahdlatul Ulama) memulai puasa Ramadhan pada hari Sabtu, 22 Agustus 2009.
Kelompok pemahaman
Pijakan hukum Islam terkait bagaimana penentuan 1 Syawal sebenarnya telah ada pada hadis Nabi SAW dengan sangat jelas. Salah satunya adalah hadis riwayat Bukhari Muslim, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila tertutup oleh awan, sempurnakanlah bilangan Syaban menjadi 30 hari."
Namun demikian, dalam realitas, pemahaman hadis tersebut memiliki perbedaan interpretasi. Ada yang memahami bahwa rukyat itu harus benar-benar melihat hilal (bulan tanggal satu) yang melahirkan kelompok rukyat dan ada yang memahami bahwa rukyat cukup dengan memperhitungkan posisi hilal dalam makna dapat dilihat (yang melahirkan kelompok hisab).
Perbedaan pemahaman terhadap hadis tersebut banyak terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Di samping kelompok pemahaman hisab dan kelompok pemahaman rukyat, terdapat kelompok-kelompok yang lain, seperti kelompok rukyat global, kelompok Islam kejawen, kelompok Tarekat Naksabandi, dan kelompok An-Nadir Goa Makassar. Pemerintah pada dasarnya telah berusaha untuk menyatukan pemahaman hisab rukyat dalam formula hisab imkanurrukyah. Namun, dalam tataran praktis, dulu pada zaman sebelum reformasi, sering terbawa nuansa politik. Karena, dalam penetapannya, pijakannya sering kali tidak berdasarkan pada kebenaran ilmiah yang objektif. Sehingga, kemunculan aliran imkanurrukyah produk pemerintah bukan menyatukan, namun menambah runyam dan membingungkan.
Bagaimana tidak membingungkan, ketika muncul perbedaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan, walaupun pemerintah sudah memfasilitasi penyatuan dalam bentuk sidang isbat yang diikuti oleh semua pihak yang terkait, termasuk dari ormas-ormas Islam; dari masing-masing ormas tersebut tetap saja mengeluarkan keputusannya (apa pun istilahnya--apa itu hanya dengan istilah instruksi atau ikhbar--tetap saja keputusan namanya). Kemunculan keputusan liar itu kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja. Pemerintah yang mestinya memegang kendali putusan dalam sidang isbat ternyata lebih mengedepankan kemaslahatan politik pemerintah, yang mestinya harus mengedepankan kebenaran ilmiah yang objektif.
Namun, hal itu berbeda dengan keputusan pemerintah setelah reformasi sekarang ini, di mana Badan Hisab Rukyat yang dibentuk pemerintah telah berusaha memberikan keputusan berdasarkan kebenaran ilmiah yang objektif. Kasus keputusan pemerintah itu terlihat melalui penolakan kabar yang menyaksikan hilal dari Gebang Sampang Madura pada penetapan 1 Syawal 1427 H berdasarkan hisab, pada saat itu hilal masih di bawah dua derajat (di bawah standar imkanurrukyah yang dipegang pemerintah).
Keterpaduan hisab rukyat
Kalau dicermati secara saksama, ternyata perbedaan penentuan awal Syawal dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, perbedaan hasil ijtihad para ulama fikih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat, seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Syaibani, yang menyatakan, jika rukyat berbeda denga penghitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat (Nihayah Al Muhtaj III: 351). Kemudian, ada aliran hisab, seperti Imam As-Subkhy, Imam Ibbady, dan Imam Qalyuby, yang berpendapat, jika ada orang yang menyaksikan hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak (I'anatut Tholibin II: 261). Lalu, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar, yang menyatakan bahwa syahadat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq). Namun, jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak (Tuhfah Al Mulhaj III: 382).
Kedua, perbedaan tingkat pemahaman sosial. Bagi masyarakat yang sudah modern, mereka bersifat terbuka, objektif, dan selektif dalam berpikir. Berbeda halnya dengan masyarakat tradisional yang notebene bersifat isolatif dan fanatik karena dapat terpengaruh pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab rukyat.
Padahal, jika kita telah secara serius dan tajam, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat, seperti menggunakan hisab hakiki kontemporer, semacam Al Manak Nautika dan Jeam Meeus serta Ephemeris dan rukyat, sangat perlu dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Karena, dengan hisab yang akurat, dapat diprediksikan lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Sedangkan, rukyat sebagai pembuktian kebenaran hisab. Sehingga, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya serta saling melekat dan menguatkan. Dalam term hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi, di mana hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat adalah sebagai alat bukti kebenaran hisab. Yang berarti, hisab itu sebagai kebenaran hipotesis yang perlu verifikasi dengan kebenaran empiris, yakni observasi atau rukyatul hilal, mengingat baik hisab maupun rukyat yang dituju adalah satu, yakni hilal (bulan tanggal satu). Oleh karena itu, seandainya hilal (bulan tanggal satu) bisa ngomong, penentuan 1 Syawal sudah tidak ada masalah.
Namun, dalam permasalahan fikih sosial, seperti awal penetapan bulan Ramadhan ini, keputusan yang bijaksana sebaiknya ada di pemerintah melalui menteri agama berdasarkan khidah hukmul hakim ilzamun wayarfaul khilaf. Oleh karena itu, jika pemerintah telah menetapkan dan memutuskan, baik berdasarkan hisab maupun laporan kesaksian rukyat, seluruh masyarakat Indonesia seharusnya mematuhinya (berdasarkan pemahaman kitab Hasyiah Syarwani III: 376, Al Fiqh ala Madzahibil Arba'ah I: 433-435).
(Anggota Badan Hisab Rukyat Pusat)
Hampir setiap menjelang akhir Ramadhan, masyarakat Muslim awam selalu mempertanyakan: kapan akhir Ramadhan yang berarti kapan hari rayanya? Pertanyaan wajar ini selalu muncul karena di Indonesia sering kali terjadi perbedaan pelaksanaan Hari Raya 1 Syawal (Idul Fitri) oleh umat Islam sendiri. Tidak seperti pelaksanaan hari raya agama lain, yaitu Natal, Waisak, Nyepi, dan sebagainya, yang tidak pernah terjadi perbedaan pelaksanaan hari rayanya. Menariknya, perbedaan pelaksanaan hari raya umat Islam sekarang ini tidak hanya berbeda pada satu hari, bahkan berhari-hari. Tanda-tanda perbedaan pelaksanaan hari raya sekarang ini (Idul Fitri 1430 H) tampak pada perbedaan awal puasa Ramadhan, kemarin. Sebagaimana pemberitaan media cetak dan elektronik, umat Islam ada yang mulai puasa Ramadhan 1430 H pada Kamis, 20 Agustus 2009. Bahkan, ada yang mulai pada Jumat, 21 Agustus atau yang mulai pada Ahad, 23 Agustus 2009. Namun, mayoritas umat Islam Indonesia (keputusan pemerintah sama dengan ketetapan Muhammadiyah dan Ikhbar Nahdlatul Ulama) memulai puasa Ramadhan pada hari Sabtu, 22 Agustus 2009.
Kelompok pemahaman
Pijakan hukum Islam terkait bagaimana penentuan 1 Syawal sebenarnya telah ada pada hadis Nabi SAW dengan sangat jelas. Salah satunya adalah hadis riwayat Bukhari Muslim, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila tertutup oleh awan, sempurnakanlah bilangan Syaban menjadi 30 hari."
Namun demikian, dalam realitas, pemahaman hadis tersebut memiliki perbedaan interpretasi. Ada yang memahami bahwa rukyat itu harus benar-benar melihat hilal (bulan tanggal satu) yang melahirkan kelompok rukyat dan ada yang memahami bahwa rukyat cukup dengan memperhitungkan posisi hilal dalam makna dapat dilihat (yang melahirkan kelompok hisab).
Perbedaan pemahaman terhadap hadis tersebut banyak terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Di samping kelompok pemahaman hisab dan kelompok pemahaman rukyat, terdapat kelompok-kelompok yang lain, seperti kelompok rukyat global, kelompok Islam kejawen, kelompok Tarekat Naksabandi, dan kelompok An-Nadir Goa Makassar. Pemerintah pada dasarnya telah berusaha untuk menyatukan pemahaman hisab rukyat dalam formula hisab imkanurrukyah. Namun, dalam tataran praktis, dulu pada zaman sebelum reformasi, sering terbawa nuansa politik. Karena, dalam penetapannya, pijakannya sering kali tidak berdasarkan pada kebenaran ilmiah yang objektif. Sehingga, kemunculan aliran imkanurrukyah produk pemerintah bukan menyatukan, namun menambah runyam dan membingungkan.
Bagaimana tidak membingungkan, ketika muncul perbedaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan, walaupun pemerintah sudah memfasilitasi penyatuan dalam bentuk sidang isbat yang diikuti oleh semua pihak yang terkait, termasuk dari ormas-ormas Islam; dari masing-masing ormas tersebut tetap saja mengeluarkan keputusannya (apa pun istilahnya--apa itu hanya dengan istilah instruksi atau ikhbar--tetap saja keputusan namanya). Kemunculan keputusan liar itu kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja. Pemerintah yang mestinya memegang kendali putusan dalam sidang isbat ternyata lebih mengedepankan kemaslahatan politik pemerintah, yang mestinya harus mengedepankan kebenaran ilmiah yang objektif.
Namun, hal itu berbeda dengan keputusan pemerintah setelah reformasi sekarang ini, di mana Badan Hisab Rukyat yang dibentuk pemerintah telah berusaha memberikan keputusan berdasarkan kebenaran ilmiah yang objektif. Kasus keputusan pemerintah itu terlihat melalui penolakan kabar yang menyaksikan hilal dari Gebang Sampang Madura pada penetapan 1 Syawal 1427 H berdasarkan hisab, pada saat itu hilal masih di bawah dua derajat (di bawah standar imkanurrukyah yang dipegang pemerintah).
Keterpaduan hisab rukyat
Kalau dicermati secara saksama, ternyata perbedaan penentuan awal Syawal dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, perbedaan hasil ijtihad para ulama fikih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat, seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Syaibani, yang menyatakan, jika rukyat berbeda denga penghitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat (Nihayah Al Muhtaj III: 351). Kemudian, ada aliran hisab, seperti Imam As-Subkhy, Imam Ibbady, dan Imam Qalyuby, yang berpendapat, jika ada orang yang menyaksikan hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak (I'anatut Tholibin II: 261). Lalu, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar, yang menyatakan bahwa syahadat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq). Namun, jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak (Tuhfah Al Mulhaj III: 382).
Kedua, perbedaan tingkat pemahaman sosial. Bagi masyarakat yang sudah modern, mereka bersifat terbuka, objektif, dan selektif dalam berpikir. Berbeda halnya dengan masyarakat tradisional yang notebene bersifat isolatif dan fanatik karena dapat terpengaruh pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab rukyat.
Padahal, jika kita telah secara serius dan tajam, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat, seperti menggunakan hisab hakiki kontemporer, semacam Al Manak Nautika dan Jeam Meeus serta Ephemeris dan rukyat, sangat perlu dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Karena, dengan hisab yang akurat, dapat diprediksikan lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Sedangkan, rukyat sebagai pembuktian kebenaran hisab. Sehingga, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya serta saling melekat dan menguatkan. Dalam term hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi, di mana hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat adalah sebagai alat bukti kebenaran hisab. Yang berarti, hisab itu sebagai kebenaran hipotesis yang perlu verifikasi dengan kebenaran empiris, yakni observasi atau rukyatul hilal, mengingat baik hisab maupun rukyat yang dituju adalah satu, yakni hilal (bulan tanggal satu). Oleh karena itu, seandainya hilal (bulan tanggal satu) bisa ngomong, penentuan 1 Syawal sudah tidak ada masalah.
Namun, dalam permasalahan fikih sosial, seperti awal penetapan bulan Ramadhan ini, keputusan yang bijaksana sebaiknya ada di pemerintah melalui menteri agama berdasarkan khidah hukmul hakim ilzamun wayarfaul khilaf. Oleh karena itu, jika pemerintah telah menetapkan dan memutuskan, baik berdasarkan hisab maupun laporan kesaksian rukyat, seluruh masyarakat Indonesia seharusnya mematuhinya (berdasarkan pemahaman kitab Hasyiah Syarwani III: 376, Al Fiqh ala Madzahibil Arba'ah I: 433-435).
Menghisabkan
NU, Merukyahkan Muhammadiyah
Oleh: Ahmad
Izzuddin Maksum
MENJADI tradisi menjelang awal-akhir
Ramadan, masyarakat (awam) selalu mempertanyakan kapan tibanya? Pertanyaan
ini kiranya wajar muncul karena sampai sekarang belum nampak adanya konsensus
(ijma') tentang dasar yang digunakan dalam penetapan tersebut. Apakah
menggunakan hisab (perhitungan), atau menggunakan rukyah (melihat hilal) atau
hisab imkanurrukyah (hisab yang menyatakan hilal mungkin untuk dapat dilihat)
? Padahal dasar-dasar tersebut selalu menghasilkan penetapan yang
berbeda-beda.
Menurut
perhitungan astronomi, awal Ramadan 1423 H kemungkinan besar tidak terjadi
perbedaan yakni pada hari Rabu Legi, 6 November 2002. Namun untuk awal Syawal
1423 H akan terjadi perbedaan. Ada yang berhari raya pada hari Kamis Kliwon,
5 Desember 2002 dan ada yang berhari raya pada hari Jumat Legi, 6 Desember
2002.
Suatu hal yang
aneh dan selalu membingungkan masyarakat lagi, dan setiap ormas selalu ikut
dalam setiap sidang Istbat (penetapan awal-akhir Ramadan oleh Pemerintah),
namun dalam dataran realitasnya selalu ada ketetapan dari mereka sendiri
(baik dengan bahasa instruksi maupun ihbar). Mengapa demikian ?
Tulisan ini
memberikan wawasan yang terkait dengan penetapan tersebut, sehingga jika
terjadi perbedaan, masyarakat dapat memahami perbedaan dengan menumbuhkan
sikap tepo seliro - toleransi - tasammuh.
Upaya Kompromi
Pada era Orde
Baru, Pemerintah cq Menteri Agama nampak tidak konsisten dalam (dasar)
penetapan awal-akhir Ramadan. Ini nampak karena selalu dibarengi
"kepentingan politik" Pemerintah. Bila Menteri Agamanya Nahdlatul
Ulama maka dasar penetapannya pakai rukyah (melihat hilal) dan jika Menteri
Agamanya Muhammadiyah maka dasar penetapannya pakai hisab.
Inilah kiranya
yang menimbulkan kekurangpercayaan sebagian kelompok masyarakat terhadap
ketetapan Pemerintah sebagai ulil
amri yang mestinya ditaati,
sehingga muncul ketetapan awal-akhir Ramadan dari ormas-ormas sendiri-sendiri
dengan bahasa hanya sekadar instruksi maupun ihbar.
Untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat, di era pemerintahan Megawati sekarang ini perlu
adanya langkah konkret yang objektif persuasif. Di samping dalam mengambil
kebijakan penetapan awal-akhir Ramadan harus aspiratif dengan standar dasar
hukum penetapan yang objektif ilmiah, sehingga tidak ada istilah condong atau
keberpihakan pada dasar penetapan yang dipakai oleh siapa yang sedang
berkuasa atau dari ormas mana Menteri Agamanya.
Menurut
cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
merupakan dua sayap Garuda Pancasila Indonesia yang harus dikompromikan jika
ingin menjadi negara yang besar. Jejak kompromi politik "mengkiaikan
Muhammadiyah - mendoktorkan Nahdlatul Ulama" yang ditawarkan Abdurrahman
Mas'ud dalam sebuah tulisannya, layak dipertimbangkan dan diaktualisasikan.
Suatu langkah
awal kompromi dan penampungan aspirasi masyarakat baru-baru ini dilakukan
IAIN Walisongo Semarang sebagai lembaga ilmu-ilmu keislaman dengan mengadakan
lokakarya Imsakiyyah yang bermaterikan penyerasian waktu salat dan hisab awal
akhir Ramadan 1423 H.
Lokakarya ini
diikuti oleh para pakar hisab rukyah dari PBNU, PP Muhammadiyah, Badan
Meteorologi dan Geofisika Jawa Tengah, akademisi IAIN dan STAIN se-Jawa
Tengah dan DI Yogyakarta, PT AIS se-Jawa Tengah, Pengadilan Tinggi Agama Jawa
Te ngah, Bintal Kodam IV Jawa Tengah, Bintal Polda Jawa Tengah, Takmir Masjid
Kauman Semarang, TVRI Semarang, dan perwakilan Pondok Pesantren se-Jawa
Tengah.
Melalui lokakarya
ini diharapkan IAIN dapat menjembatani atau paling tidak memberikan wawasan
pengetahuan sebelumnya, sehingga jika terjadi perbedaan dapat mengembangkan
sikap toleransi.
Mestinya dua
metode yakni hisab dan rukyah merupakan dua metode yang saling melengkapi.
Metode hisap sebagai prediksi sebelumnya statusnya masih sebatas hipotesis
vertifikatif tentu masih memerlukan pembuktian observasi (rukyah) di pantai.
Kontinyuitas rukyah dengan dibuktikan dengan hasil hisab harus selalu
dilakukan setiap akhir bulan Qamariyah sehingga tidak terbatas rukyah pada
akhir bulan Sya'ban, akhir bulan Ramadan dan akhir bulan Dulkaidah.
Pada akhirnya
standarisasi ketinggian hilal dapat dihasilkan sebagai hasil kompromi metode
hisab dan rukyah secara empiris ilmiah.
Awal-Akhir
Ramadan
Dari lokakarya
tersebut didapatkan kesepakatan, awal Ramadan 1423 H kemungkinan besar
sepakat bareng jatuh pada hari Rabu Legi, 6 November 2002 dengan pertimbangan
hisab bahwa ijtima akhir Syakban untuk daerah dari Sabang sampai Merauke
sekitar pukul 03.00 wib, matahari terbenam sektiar pukul 17.00 WIB, ketinggian
hilal mar'I sekitar + 05 derajat 15' sampai + 06 derajat 45'.
Diperkirakan bila
cuaca cerah, hilal sangat mungkin untuk dilihat (dirukyah) untuk seluruh
lokasi rukyah di Indonesia seperti Pantai Marina Semarang. Teluk Awur Jepara,
Pelabuhan Ratu Banten, Tanjuk Kodok Lamongan.
Menurut data
hisab tersebut, mestinya walau dalam cuaca mendung, ketinggian tersebut
kiranya harus sangat dipertimbangkan dalam pengistbatan awal Ramadan nanti.
Karena dengan ketinggian + 05 derajat sampai + 06 derajat, baik menurut
kajian ilmiah dan kebiasaan tentunya sangat layak untuk dapat dilihat
(dirukyah).
Bahkan
kemungkinan ada yang lebih mendahului dalam memulai puasa Ramadan 1423 yakni
pada hari Selasa Kliwon, 5 Noveber 2002 bagi mereka yang berprinsip rukyah
global yakni Hizbut Tahrir dan mereka yang berprinsip ijtima qoblal fajr.
Sedangkan untuk
hari raya Idul Fitri 1423, nampaknya terdapat kesepakatan untuk berbeda.
Berdasarkan data hisab, ijtima akhir Ramadan terjadi pada hari Rabu wage, 4
Desember 2002 sekitar pukul 14.00 wib, matahari terbenam sekitar pukul 17.00
- 18.00 wib. Dengan ketinggian hilal mar'I sekitar - 0 derajat 34'
(ketinggian di Merauke) sampai dengan + 0 derajat 31' (Ketinggian di Sabang).
Dengan ketinggian tersebut, kemungkinan besar ada yang sudah merayakan hari
raya Idul Fitri pada hari Kamis Kliwon, 5 Desember 2002 (berdasarkan prinsip
wujudul hilal yang selama ini dipegangi Muhammadiyah, walaupun ada sebagian
wilayah di Indonesia yang mana hilal belum wujud).
Ada yang baru
merayakan hari raya pada hari Jumat Legi, 6 Desember 2002 (berdasarkan
istikmal yang selama ini dipegangi Nahdlatul Ulama atau imkanurrukyah, karena
dengan ketinggian seperti itu menurut kajian ilmiah empiris sangat tidak
mungkin untuk dirukyah).
Oleh karena itu,
bagi pemerintah dalam hal ini kiranya harus selektif dengan pijakan standar
objektif ilmiah dalam menerima laporan keberhasilan rukyah, sehingga dalam
pengistbatan nantinya benar-benar aspiratif.
Membingungkan
Realitanya selama
ini walaupun sudah ada sidang istbat yang dilakukan oleh Pemerintah cq
Menteri Agama yang diikuti oleh perwakilan ormas-ormas dan pihak-pihak yang
terkait, namun di masyarakat masih ada "ketetapan-ketetapan lain"
yang kadang berbeda dengan ketetapan Pemerintah. Sebut saja di sini ada istilah ihbar yang dilakukan oleh NU dan ada
istilah instruksi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Benar-benar sangat
membingungkan masyarakat "ketetapan-ketetapan ini" walaupun hanya
dalam bahasa ihbar maupun instruksi. Apalagi baik NU
maupun Muhammadiyah menempatkan wakilnya dalam sidang istbat oleh Pemerintah.
Oleh karena itu,
persoalan siapa yang berhak menetapkan permasalahan ini mestinya segera harus
tuntas. Apakah persoalan ini kita serahkan sepenuhnya pada Pemerintah dengan
dasar Hukmul Hakim Hzamun wa
Yarfa'ul Khilaf, dan mestinya masing-masing pihak harus saling legowo
untuk tidak mengeluarkan "ketetapan-ketetapan" nya.
Namun demikian
jika Pemerintah sebagai ulil
amri yang diserahi wewenang
penetapan ini idealnya harus aspiratif selektif dan persuasif dengan dasar ilmiah
bukan atas dasar pertimbangan politis.
Ataukah persoalan
ini kita serahkan sepenuhnya kepada masyarakat sendiri, sehingga Pemerintah
tidak usah ikut menetapkan. Biarkan masyarakat sendiri yang menetapkan dan
masyarakat sendiri yang menilainya dengan keyakinannya masing-masing.
Dari perilaku
semacam inilah kiranya akan muncul perilaku demokratis yakni sepakat untuk
berbeda sehingga tumbuh perilaku tepo seliro - toleransi -tasammuh di antara kita. Oleh karena itu,
realisasi rencana Pemerintah untuk mengadakan Muktamar Bersama berkaitan
dengan permasalahan ini sangat dinantikan oleh masyarakat.(18)
- Ahmad Izzuddin
Maksum M.Ag, Dosen Ilmu Hisab
Rukyah IAIN Walisongo Semarang, Anggota Badan Hisab Rukyah Jawa Tengah.
|
Perlu
Meluruskan Kiblat Masjid
Oleh: Ahmad
Izzuddin HMR
TULISAN Saudara Ir Totok Roesmanto MEng
dalam "Kalang" Suara Merdeka, 1 Juni 2003 lalu, mendorong penulis
untuk membuat artikel dengan judul ini. Hal itu sebagai pertimbangan untuk
memberikan wawasan kepada masyarakat awam berkait dengan arah kiblat yang
sebenarnya.
Mengapa perlu?
Realita di masyarakat sampai sekarang, banyak ditemukan masjid-masjid dan
musala-musala yang arah kiblatnya berbeda-beda. Padahal menghadap ke kiblat
hukumnya wajib bagi yang melakukan shalat.
Tulisan Saudara
Totok Roesmanto menyebutkan perbedaan-perbedaan itu, misalnya Masjid Menara
Kudus memiliki sumbu bangunan 25 derajat ke arah utara, Masjid Kotagede yang
menempati lahan bekas Dalem Ki Ageng Pemanahan sumbu bangunannya 19 derajat,
Masjid Mantingan Jepara sumbu bangunannya hampir 40 derajat, Masjid Agung
Jepara 15 derajat, Masjid Tembayat Klaten 26 derajat, dan Masjid Agung
Surakarta bergeser 10 derajat.
Data Saudara
Totok Roesmanto tersebut membuktikan bahwa hasil pengamatan Ditbinbapera
Islam (Depag RI) menyimpulkan selama ini arah kiblat masjid yang banyak
tersebar di tengah masyarakat, satu sama lain masih ada perbedaan-perbedaan.
Bahkan perbedaan mencapai lebih 20 derajat, itu tidak keliru dan tidak
berlebihan.
Ketika penulis
mengukur arah kiblat di rencana Masjid Besar Kauman Semarang (masih dalam
proses pembangunan di lahan tanah banda wakaf Masjid Kauman), seorang
kontraktor bangunan menyatakan, ia pernah mengukur arah kiblat di Semarang
hanya 14 derajat dari titik barat ke utara. Padahal menurut perhitungan
astronomi yang akurat, arah kiblat untuk Semarang 24,5 derajat.
Melihat fenomena
itu, kiranya kita perlu meluruskan kiblat masjid, agar dapat memberikan
keyakinan dalam beribadah secara ainul
yaqin atau mendekati bahkan
sampai haqqul yaqin, bahwa kita benar-benar menghadap
kiblat (Kakbah). Karena perbedaan per derajat saja sudah memberikan perbedaan
kemelencengan arah seratusan kilometer. Bagaimana kalau perbedaan puluhan
derajat, bisa-bisa arah kiblat melenceng jauh dari Masjidil Haram, atau jauh
dari Baitullah (Kakbah).
Hukum Menghadap
Kiblat
Sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, belum ada ketentuan Allah tentang kewajiban
menghadap kiblat bagi yang melakukan salat. Rasulullah sendiri menurut
ijtihadnya, dalam melakukan salat selalu menghadap ke Baitul Maqdis.
Hal ini dilakukan
sehubungan dengan kedudukan Baitul Maqdis saat itu masih dianggap paling
istimewa dan Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala di
sekelilingnya.
Namun menurut
sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah selalu menghadap ke Baitul Maqdis, jika
berada di Makkah beliau juga selalu menghadap Baitullah.
Demikian pula
setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau selalu menghadap ke Baitul
Maqdis. Namun 16 atau 17 bulan setelah hijrah, di mana kerinduan beliau telah
memuncak untuk menghadap ke Baitullah yang sepenuhnya dikuasai oleh kafir
Makkah, turunlah firman Allah yang memerintahkan mereka untuk berpaling ke
Masjidil Haram yang memang dinantikan oleh Rasulullah. Demikian cerita hadis
terkait dengan asbabun
nuzul, ayat-ayat Alquran
tentang petunjuk arah kiblat bagi kita sekarang ini.
Pemindahan kiblat
dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram mengakibatkan keributan dan menimbulkan
berbagai macam komentar, baik dari orang Islam yang lemah imannya (muallaf
qulubuhum) maupun dari orang di luar Islam. Mereka mengatakan bahwa
Muhammad berpikir kurang matang, sebentar menghadap ke sana sebentar
menghadap ke mari.
Ada pula yang
mengatakan bahwa Muhammad kembali ke ajaran nenek moyangnya, sebab di sekitar
Baitullah pada waktu itu masih banyak terdapat berhala. Sehingga ada orang
mualaf yang menjadi kafir kembali.
Atas pemindahan
kiblat tersebut, orang Yahudi dan orang munafik sangat tidak senang. Sebab
menurut mereka, Baitul Maqdis yang didirikan oleh Nabi Sulaeman adalah tempat
suci sumber agama yang dibawa oleh nabi keturunan Israel. Maka dengan
berkiblatnya Muhammad ke Baitul Maqdis, berarti ajaran Muhammad hanyalah
jiplakan dari ajaran mereka. Sekarang Muhammad berpindah kiblat ke Baitullah,
maka mereka sangat kecewa.
Sebetulnya Baitul
Maqdis dan Baitullah di sisi Allah adalah sama. Penunjukan ke arah kiblat
hanya merupakan ujian ketaatan manusia kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang
penting dalam menjalankan shalat adalah ketulusan hati atas perintah-Nya,
dengan kerendahan hati mohon petunjuk jalan yang lurus -shirathal mustaqim.
Berdasarkan asbabun nuzul, ayat-ayat arah kiblat dengan
didukung hadis qauli amr Muhammad, maka para ulama sepakat - ijma' - bahwa menghadap ke Baitullah
hukumnya wajib bagi yang melakukan shalat.
Hanya sekarang
timbul pertanyaan, apakah harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh ke
arah taksirannya saja. Dalam hal ini perlu kita memahami bahwa agama Islam
bukan agama yang sulit dan memberatkan, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al Baqarah ayat 286. Apalagi dalam soal kiblat, kita diperintahkan menghadap
kiblat dengan lafaz syathrah yang berarti arah.
Karena itu, bagi
yang langsung dapat melihat kakbah, baginya wajib berusaha agar dapat
menghadap persis ke kakbah. Untuk yang tidak langsung dapat melihat kakbah
karena terhalang atau jauh, mereka wajib menghadap ke arah yang terdekat,
sehingga kita biasa melafalkan niat mutaqbilal
qiblah untuk mengawali
salat.
Perlu Meluruskan
Untuk mendapatkan
keyakinan dan kemantapan amal ibadah kita, maka harus dengan ainul yaqin atau mendekati, atau bahkan
sampai pada haqqul yaqin.
Kita perlu berusaha agar arah kiblat yang kita pergunakan mendekati persis
menghadap ke Baitullah. Jika arah tersebut telah kita temukan berdasarkan
hasil ilmu pengetahuan misalnya, kita wajib mempergunakan arah tersebut
selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi. Hal ini relevan dengan
firman Allah surat Al Zumar 17-18: "... sebab itu sampaikanlah berita
itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal."
Namun, kita perlu
mencari kesimpulan arah mana yang paling mendekati kebenaran pada arah kiblat
sebenarnya. Dengan demikian, untuk menyikapi banyaknya perbedaan dalam
besaran-besaran sudut penunjuk arah kiblat yang terjadi di masyarakat selama
ini, perlu adanya pengecekan kembali dengan melakukan pengukuran arah kiblat.
Semestinya banyak
sistem penentuan arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat, seperti dengan
menentukan azimuth qiblat ,scientific calculator , atau dibantu alat teknologi
canggih semacam theodolite dan Global Position System (GPS) atau dengan cara
tradisional.
Yakni melihat
bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul qiblat) setelah
mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur
Kakbah.
Bagaimana dengan
kompas? Kompas yang selama ini beredar di masyarakat kiranya dapat digunakan
untuk menentukan arah kiblat, namun masih sebatas ancar-ancar yang masih
perlu dicek kebenarannya. Karena berbagai model kompas termasuk kompas kiblat
masih mempunyai kesalahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi tempat
(magnetic variation). Apalagi di daerah yang banyak baja atau besinya, akan
mengganggu penunjukan utara-selatan magnet.
Secara garis
besar, arah kiblat berdasarkan perhitungan astronomi untuk daerah Jawa
Tengah, sekitar 24 derajat 10 menit sampai 25 derajat dari titik barat sejati
ke arah utara sejati, sehingga dapat dicek dengan sudut busur tersebut
setelah mengetahui arah utara-selatan sejati.
Salah satu cara
tradisional yang dapat menghasilkan akurat adalah dengan bayang-bayang
matahari sebelum dan sesudah kulminasi matahari dalam sebuah lingkaran. Atau
dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul
qiblat setiap tanggal 28
Mei pukul 16.18 atau setiap tanggal 16 Juli pukul 16.27. Semua benda tegak
lurus adalah arah kiblat, sebagaimana pendapat tokoh kharismatik ilmu hisab
almarhum KH Turaichan Kudus. Walaupun pada dasarnya rashdul qiblat dapat dihitung dalam setiap
harinya dengan mengetahui deklinasi matahari. Hanya penetapan dua hari
rashdul qiblat oleh KH Turaichan tersebut adalah atas pertimbangan yang lebih
akurat dan realistis.
Karena itu, untuk
mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah kita dengan ainul yaqin atau paling tidak mendekati atau
bahkan sampai dengan haqqul yaqin. Marilah kita berusaha meluruskan arah
kiblat masjid dan musala kita, agar ibadah salat kita mendekati persis
menghadap ke Baitullah, sehingga ketika salat, kita yakin benar telah mustaqbilal qiblah.(18)
- Ahmad Izzuddin
HMR, SAg,
dosen Hisab Rukyah IAIN Walisongo Semarang; anggota Badan Hisab Rukyah Jawa
Tengah.
|
Memahami
Perbedaan Penetapan Idul Adha
Oleh: Ahmad
Izzuddin Maksum
MENJELANG Hari Raya Idul Adha 1423 H, di
kalangan masyarakat awam beredar pertanyaan soal perbedaan penetapan Idul
Adha antara Indonesia dan Makah (Arab Saudi). Mengapa perbedaan penetapan itu
bisa terjadi, padahal keduanya sama-sama pakai rukyat? Pemerintah Arab Saudi
mengumumkan awal Dzulhijjah 1423 H jatuh pada Minggu, 2 Februari 2003,
sehingga wukuf di Arafah jatuh pada 10 Februari 2003. Dengan demikian, Idul
Adha 1423 H jatuh pada 11 Februari 2003 (Suara Merdeka, 4 Februari
2003).
Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Agama Prof Dr KH Said Agil Al-Munawar MA, berdasarkan rukyat
menetapkan bulan Dzulqa'dah 1423 H harus disempurnakan 30 hari
(diistikmalkan), sehingga awal Dzulhijjah 1423 H jatuh pada Senin, 3 Februari
2003 dan Hari Raya Idul Adha 1423 H jatuh pada Rabu, 12 Februari 2003 (Suara
Merdeka, 2 Februari 2003).
Sementara itu, PP
Muhammadiyah berdasarkan hisab wujudul
hilal menetapkan waktu Idul
Adha 1423 H sama dengan Pemerintah Arab Suadi, yakni 11 Februari 2003.
Mengapa hisab Muhammadiyah sama dengan rukyat Arab Saudi? Mengapa rukyat
Indonesia berbeda dari rukyat Arab Saudi?
Perbedaan serupa
pernah terjadi pada 1411/1991. Idul Adha di Indonesia dan di Arab Saudi
berbeda hari. Pada 1991 wukuf di Arafah terjadi pada 21 Juni 1991 dan Idul Adha
di Arab Saudi jatuh pada 22 Juni 1991. Idul Adha di Indonesia jatuh pada 23
Juni 1991.
Banyak orang yang
bingung waktu itu. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di beberapa
negara Asia timur. Ada juga yang mengecam perbedaan itu seolah-olah tidak mendasar.
Bahkan, banyak tokoh masyarakat (kita) yang mempertanyakan perbedaan
tersebut. Mengapa sama-sama memakai rukyat, malah terjadi perbedaan penetapan
Hari Raya Idul Adha?
Mengapa Indonesia
yang lebih ke timur ketimbang Arab Saudi malah harus ber-Idul Adha
belakangan. Ada yang bertanya-tanya mengapa perbedaan waktu yang hanya empat
jam antara Arab Saudi dan Indonesia bisa menyebabkan perbedaan penetapan Idul
Adha.
Ada dua penyebab
perbedaan tersebut hal yang perlu dijelaskan, yakni aspek astronomis penetapan
awal Dzulhijjah dan aspek syariat yang berkaitan dengan pelaksanaan puasa
Arafah.
Aspek kedua
mungkin paling merisaukan banyak orang. Bila kita berpuasa Arafah pada 9
Dzulhijjah ikut ketetapan pada 11 Februari 2003, kita mendengar hari itu di
Arab Saudi sudah Hari Raya Idul Adha. Mungkin inilah yang buat banyak orang
kebingungan. Berpuasa pada hari raya adalah haram. Lalu haramkah berpuasa
pada 11 Februari 2003?
Sebenarnya hal
itu tidak menjadi masalah, jika kita tahu duduk perkaranya. Tulisan ini akan
menguraikannya dengan harapan kita menjadi memahami permasalahan tersebut
sehingga dapat beribadah dengan yakin dan mantap.
Biasa Terjadi di
Indonesia
Perbedaan
penetapan bulan Qomariyah yang berkaitan dengan ibadah yakni penetapan
awal-akhir Ramadan dan awal Dzulhijjah di Indonesia memang biasa terjadi.
Snouck Hourgronje bahkan pernah menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda,
"Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan
penetapan awal dan akhir puasa (dan penetapan Idul Adha). Bahkan terkadang
perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung berdekatan" (Tempo,
26 Maret 1994).
Statemen Snouck
Hourgronje tidaklah berlebihan, karena memang banyak sekali aliran pemikiran
yang berkaitan dengan penetapan tersebut. Aliran pemikiran itu muncul karena
perbedaan pemahaman dasar hukum hisab- rukyat yang masihmujmal yakni hadis "Shumu
lirukyatihi wa afthiru lirukyatihi." Bahkan, persinggungan Islam
sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition menumbuhkan aliran tersendiri,
dalam hal ini sebagaimana munculnya aliran hisab Jawa Asapon dan hisab Jawa
Aboge.
Secara
keseluruhan aliran pemikiran yang berkaitan dengan penetapan awal bulan
Qomariyah termasuk Idul Adha adalah sebagai berikut. Pertama, aliran hisab wujudul hilal. Aliran ini
berprinsip jika menurut perhitungan (hisab), hilal dinyatakan sudah di atas
ufuk, hari esoknya dapat ditetapkan sebagai tanggal baru tanpa harus menunggu
hasil melihat hilal pada tanggal 29. Prinsip tersebut selama ini dipegang
oleh Muhammadiyah.
Kedua, aliran
rukyat dalam satu negara (rukyah fi wilayatil hukmi). Prinsip aliran
ini berpegang pada hasil rukyat (melihat bulan tanggal satu) pada setiap
tanggal 29. Jika berhasil melihat hilal, hari esoknya sudah masuk tanggal
baru. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, bulan harus disempurnakan 30
hari (diistikmalkan) dan hanya berlaku dalam satu wilayah hukum negara.
Keberadaan hisab dipergunakan sebagai alat bantu dalam melakukan rukyat.
Prinsip ini yang dipegangi Nahdlatul Ulama selama ini.
Ketiga, aliran
hisab imkanurrukyah (hisab yang menyatakan hilal
sudah mungkin dapat dilihat). Inilah aliran yang dipegangi pemerintah dengan
standarimkanurrukyah 2
derajat dari ufuk.
Keempat, aliran
rukyat internasional atau rukyat global yang berprinsip jika di negara mana
pun menyatakan melihat hilal, maka hal itu berlaku untuk seluruh dunia tanpa
memperhitungkan jarak geografis. Aliran tersebut yang selama ini di Indonesia
dikembangkan oleh Hizbut Tahrir.
Kelima, aliran
hisab Jawa Asapon yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang diperbaharui
dengan ketentuan Tahun Alif jatuh pada Selasa Pon. Aliran ini dianut oleh
Keraton Yogyakarta.
Keenam, aliran
hisab Jawa Aboge yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang lama dengan
ketentuan Tahun Alif jatuh pada Rabu Wage. Aliran ini yang dianut oleh
mayoritas pemeluk Islam Kejawen seperti di Dusun Golak Ambarawa.
Ketujuh, aliran
mengikuti Makah yang berprinsip kapan Makah menetapkan, maka penganut aliran
ini mengikutinya. Di sini tampak mempertimbangkan letak dan jarak geografis.
Di antara banyak
aliran tersebut, yang sering mencuat dan membikin ramai suasana adalah jika
terjadi perbedaan penetapan antara aliran hisab wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah, aliran
rukyat satu negara yang dipegang Nahdlatul Ulama, aliran hisab imkanurrukyah yang dipegang pemerintah, dan
aliran rukyat internasional atau rukyat global.
Melihat fenomena
semacam ini, sangatlah arif ketika terjadi perbedaan kita kembangkan sikap
saling memahami perbedaan dalam bingkai toleransi. Penulis sepakat dengan
pernyataan utusan PP Muhammadiyah Fatah Wibisono yang menyebutkan selayaknya
pemerintah tidak menekan ormas Islam dalam penentuan Hari Raya Idul Adha (Suara
Merdeka, 2 Februari 2003). Sebab, pada era reformasi sekarang dalam
rangka mengembangkan sikap berdemokrasi yang baik, kita perlu mengembangkan
sikap agree in disagreement
(ittifaq fil ikhtilaf).
Hisab-Rukyah Idul
Adha
Menurut
perhitungan (hisab) kontemporer, ijtima akhir Dzulqa'dah 1423 tejadi pada
Sabtu pukul 17.50 WIB. Di Sumatera, Jawa, Bali, dan NTB, hilal memang sudah
di atas ufuk, tapi belum mungkin dapat dilihat. Sebab, masih di bawah standar imkanurrukyah (dua derajat). Laporan rukyat
oleh tim rukyat seluruh Indonesia pada Sabtu sore, 1 Februari 2003,
menyatakan tidak berhasil melihat hilal.
Berdasarkan data
hisab tersebut, Muhammadiyah dengan prinsip hisab wujudul hilal tetap menyatakan awal Dzulhijjah
1423 H jatuh pada Ahad, 2 Februari 2003 dan Idul Adha 1423 ditetapkan pada
Selasa, 11 Februari 2003. Ini tidak keliru, karena menurut hisab memang hilal
sudah di atas ufuk.
Dengan
pertimbangan tidak mungkin dilihat dan memang tidak berhasil merukyat,
walaupun sudah di atas ufuk, maka pemerintah menetapkan bulan Dzulqa'dah
1423H harus disempurnakan 30 hari dan awal Dzulhijjah 1423 H baru ditetapkan
pada Senin, 3 Februari 2003, sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, 12 Februari
2003.
Demikian pula
Nadlatul Ulama, karena rukyat pada 1 Februari (29 Dzulqa'dah 1423) tidak
berhasil melihat hilal, sehingga menetapkan Idul Adha sama dengan pemerintah.
Bagaimana Kita
Meyakini?
Berkaitan dengan
perbedaan penetapan Idul Adha sekarang, yang terpenting kita yakin dan mantap
dengan keyakinan masing-masing. Sebab, ini masalahijtihadiyyah,
tiap-tiap aliran pemikiran mempunyai dasar ijtihad sendiri.
Bagi yang
meyakini berdasarkan hisab wujudul
hilal (yang dipegangi
Muhammadiyah), awal Dzulhijjah 1423 Hjatuh pada Ahad, 2 Februari 2003 berarti
dapat melaksanakan puasa Tarwiyah pada Ahad, 9 Februari, puasa Arafah pada
Senin, 10 Februari dan merayakan Hari Raya Idul Adha pada Selasa, 11 Februari
2003.
Yang meyakini
berdasarkan rukyat (yang dipegangi Nahdlatul Ulama) dan hisabimkanurrukyah (yang dipegangi pemerintah), awal
Dzulhijjah 1423 Hjatuh pada Senin, 3 Februari, yang berarti dapat
melaksanakan puasa Tarwiyah pada Senin, 10 Februari, puasa Arafah pada
Selasa, 11 Februari dan merayakan Hari Raya Idul Adha pada Rabu, 12 Februari
2003. (e)
-Ahmad Izzuddin
Maksum MAg,
dosen Hisab Rukyat IAIN Walisongo Semarang, anggota Badan Hisab Rukyat Jawa
Tengah, Pengasuh PP Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang.
|
Mencari Berkah Sura
Oleh Ahmad
Izzuddin HMR
SETIAP memasuki tahun baru Islam (bulan Muharam) sudah menjadi tradisi bagi
kaum muslim untuk melakukan doa yang disebut doa awal dan akhir tahun. Doa
tersebut dengan harapan untuk revitalisasi kadar keimanan dan agar dosa-dosa
yang pernah dilakukan selama satu tahun yang lalu dapat lebur dan membuka
lembaran tahun baru dengan aktivitas yang lebih baik lagi.
Bagi muslim Jawa, momentum tahun baru semacam ini ternyata tidak
hanya digunakan untuk membaca doa akhir dan awal tahun saja, tapi banyak
melakukan tirakatan-tirakatan atau lakon-lakon (merujuk klasifikasi Clifford
Geertz bahwa di masyarakat Jawa terklasifikasi menjadi kaum santri, priyayi
dan abangan).
Misalnya lakon ngumbah keris (perilaku mencuci keris),
lakon ngumbah pusaka (mencuci pusaka), lakon ngumbah aqiq (mencuci batu permata), lakon topo(bertapa/bersemedi),
lakon kungkum (merendam di dalam air), memulai
tirakatposo dalail (puasa
satu tahun penuh kecuali hari raya dan hari tasyrik), lakon membuat rajah
(sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan), dan masih banyak lagi lakon-lakon
atau tirakatan-tirakatan yang lain.
Termasuk tradisi membuat Bubur Suro oleh masyarakat Jawa atau upacara
tobat (Minangkabau: tabuik).
Ini semua karena adanya yakin bahwa momentum bulan Syuro (sebutan bulan
pertama dalam kalender Hijriah - bulan Muharram - menurut orang Jawa) dapat
mendatangkan ''berkah'', dapat mendatangkankasekten/kadigjayaan (kekuatan). Tidak berlebihan
manakala banyak orang yang menunggu kehadirannya terutama oleh mereka
pengamal tirakatan atau lakon-lakon tersebut.
Oleh karena itu, dengan datangnya tahun baru Hijriah (1427 H) yang
berarti memaski tahun baru Hijriah (disebut bulan Syuro menurut orang Jawa),
kiranya sangatlah tepat makanala dijadikan sebagai momentum tirakatan bagi
bangsa kita dengan melakukan muhasabah kadar keimanan kita.
Dengan introspeksi: sudah baikkah kadar keimanan kita selama ini
kepada Allah? Apakah kita masih berbuat zalim yang dapat mengurangi kader
keimanan kita? Mengingat sampai sekarang begitu banyak musibah-musibah yang
masih melanda bangsa kita ini. Karena sebagaimana pesan Allah yang terkait
dengan cerita kaum Saba yang semestinya diberi Allah berkah yang banyak,
namun karena mereka berpaling (tidak takwa - yang berarti melakukan
kezaliman) maka Allah memberikan musibah (surat Saba' 15-16).
Pesan ini selaras dengan pernyataan Alexis Careel bahwa jika
pengabdian kepada Allah disingkirkan dari tengah kehidupan masyarakat, maka
hal itu berarti menandatangani kontrak kehancuran sendiri.
Mitos Sura
Syuro merupakan nama bulan pertama dalam kalender Jawa yang sekarang
berprinsip Asapon tidak Aboge lagi. Kalender Jawa tersebut (yang disebut juga
kalender Soko) asal muasalnya merupakan kalender Jawa Hindu yang berdasarkan
pada peredaran matahari (kalender Syamsiyah). Namun sejak 1043 H/1633 M
ketepatan tahun 1555 tahun Soko, oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma
diasimilasikan berdasarkan peredaran bulan (menjadi kalender Qamariyah).
Selanjutnya menjadi Kalender Jawa Islam. (Baca Alfred A Knopt, h.
282-284), sehingga muncul kesan identifikasi dalam kalender Islam murni
(kalender Hijriah).
Istilah bulan Syuro dalam kalender Jawa (bulan Muharam dalam istilah
kalender Hijriah) kalau dilacak itu pun berasal dari istilah Islam. Bahkan
berasal dari penggalan sabda nabi Asyuro
Yaumul Asyir. Istilah Asyuro adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di
mana pada tanggal 10 Muharam tersebut terdapat banyak mitos yang terkait
banyak dengan kemukjizatan para nabi. Dalam hadis lain juga disabdakan
''Asyuro adalah hari raya kemenangan para nabi sebelum kamu semua''.
Menurut Hasan al-Fayumy dalam Nazhot
al-Majalis, istilah syuro berasal dari kataAsya Nurron (Hidup Dalam Cahaya Allah). Ini
berpijak pada banyaknya mitos para nabi yang terjadi pada tanggal 10
Muharam,sehingga istilah syuro pada dasarnya merupakan penamaan yang berpijak
pada momentum tanggal 10 Muharam yang penuh dengan mitos-mitos religius.
Mitos religius yang muncul pada tanggal 10 Muharam tersebut menurut
al-Shohib al-Jawahir al-Makiyyah, diantaranya: peristiwa kali pertama Allah
menciptakan manusia yakni Nabi Adam sekaligus memerintahkannya untuk menetap
di Surga.
Ada peristiwa penciptaan bumi dan alam seisinya. Ada peristiwa
mendaratnya kapal Nabi Nuh di gunung al-Judy setelah peristiwa banjir bandang
yang menenggelamkan dunia. Ada peristiwa penyalamatan Nabi Ibrahim oleh Allah
dari kobaran api. Ada peristiwa penyelamatan Nabi Yunus keluar dari perut
ikan besar setelah beberapa hari ada di dalamnya. Ada peristiwa penyelamatan
Nabi Ayub dari penyakit kulit yang sangat parah yang menimpanya semenjak
lahir.
Ada peristiwa keluarnya Nabi Yusuf dari sumur setelah beliau
dimasukkan oleh saudara-saudaranya karena iri dengki dengannya. Ada peristiwa
penyembuhan mata Nabi Yakub. Ada peristiwa pertolongan Allah kepada Nabi Musa
denganmemiyak (membelah)
lautan untuk keselamatan Nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan raja Firaun
serta pasukannya.
Tidaklah berlebihan manakala muncul banyak hadis nabi yang
menganjurkan untuk menggunakan momentum tersebut untuk berpuasa. Di antaranya
hadis: Asyuro'u 'Idu
nabiyyin qablakum fa shumuuhu antum. Ada hadis: ''Barang siapa puasa pada
hari Asyuro maka Allah mencatatnya sebagai ibadah haji seribu kali, umroh
seribu kali, diberi pahala bagai seribu orang mati sahid, dan masih banyak
lagi''. Intinya berisi anjuran untuk berpuasa pada bulan Muharam terutama
pada tanggal sepuluh (Asyuro).
Dari mitos-mitos inilah kiranya, muncul bulan Muharam yang dikenal
dengan bulan Syuro dianggap ''keramat'' dan membawa ''berkah'', sehingga
digunakan untuk memulai tirakatan atau lakon-lakon sebagaimana tersebut di
atas baik oleh kaum santri maupun kaum muslim Jawa (Kejawen).
Berkah Syuro
Merujuk pada banyak mitos syuro tersebut, kiranya tidaklah berlebihan
manakala awal tahun baru Hijriah (1427 H sekarang ini) kita jadikan momentum muhasabahdengan melakukan
tirakatan-tirakatan untuk mendapatkan berkah syuronya.
Apa yang perlu kita muhasabahi atau kita
introspeksi? Jika kita merujuk pada pesan cerita kaum Saba yang selaras
dengan pernyataan Alexis Carrel, kiranya muhasabahkadar
keimanan kita kiranya yang perlu kita dahulukan, sehingga dengan prinsip
''memulailah dari diri kita sendiri'' kiranya perlu kita pertanyakan pada
diri kita: Sudah tidak dlalimkah kita kepada Allah? Sudah tidak zalimkah kita
pada diri sendiri? Sudah tidak zalimkah kita pada sesama kita? Sudah tidak
zalimkah kita pada lingkungan sekitar kita?
Mengapa demikian, karena merujuk pada beberaa pengertian kezaliman
dalam Alquran ternyata memang itulah bentuk-bentuk kezaliman. Kezaliman
itulah yang menghancurkan kebahagiaan kita sendiri, sebagaimana pesan Allah
dalam surat al-Hijr: 78-79 bahwa kehancuran penduduk Afkah karena kezalimanya
sendiri.
Marilah momentum tahun baru Hijriah sekarang ini kita jadikan
momentummuhasabah kita
untuk meningkatkan kadar keimanan kita yang tidak bias dalam kezaliman.
Semoga momentum Syuro 1427 H ini dapat benar-benar membawa ''berkah''
bagi kita semua. Amin. (11)
- Ahmad Izzudin HMR,
M.Ag, dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, pengasuh Pesantren Mahasiswa
''Daarun Najaah'' Jerakah Tugu Semarang
|
Assalamu’alaikum wr wb salam kenal, saya H Bakri Syam dari pakanbaru riau, setelah saya simak paparan di atas tampaknya perhitungan Islam ABOGE ada persamaan dengan perhitungan rasullulah saw, tetapi ada perbedannya yg saya ketahui diantaranya : 1) tahun 1 bukan huruf Alif tetapi huruf Ha. 2) sebab mulai membilang dari nol. uruf tahu yg ke 7 bukan jin 3 tetapi urufnya Dal 4 . yg mau saya tanyakan ,apa dasar perhitungan / landasannya kok dapat ketetapan seperti itu, dari saya seperti ini :
BalasHapus” Telah berkata Rasulullah SAW:
“Aku lihat dimalam Israk denganku akan sej umlah kalimat di tiang Arasy sebagai berikut : “Allahul Hadi” satu kali, “Hudallah” lima kali, “Jamalul Fi’li” tiga kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali, “Dinullah” empat kali, “ Badi ussamawati walArdhi” dua kali, “Wailun liman asha” enam kali
, “Dinullah” empat kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali, “Jamalul fi’li” tiga kali, “Hudallah” lima kali, “Wailun Liman asha” enam kali, “allahul hadi” satu
kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali ,“Dinullah” empat kali,“Hudallah” lima kali, Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Allahul Hadi” satu kali “Jamalul Fi’li”tiga kali.”
Berkata Rasulullah SAW:
“Ambil olehmu awal kalimat yang delapan pertama menjadi huruf Tahun dan awal kalimat yang sebanyak dua belas kedua menjadi huruf Bulan, maka himpunlah huruf tahun dengan huruf bulan, artinya jumlahkanlah, maka mulailah membilang dari hari Rabu atau Kamis , dan dihari mana sampai bilangan, maka hari itu adalah awal bulan itu
”, dan Rasulullah SAW berkata:
“Takwim adalah jalanku, selain puasa Ramadhan”.